Sejarah Tulisan Lontara

Para pengkaji umumnya meyakini bahawa aksara Lontara telah digunakan sebelum Sulawesi Selatan mendapat pengaruh Islam yang signifikan sekitar abad 16 M, berdasarkan fakta bahawa aksara Lontara menggunakan dasar sistem abugida Indik ketimbang huruf Arab yang menjadi lumrah di Sulawesi Selatan di kemudian harinya.[3] Tulisan ini berakar pada aksara Brahmi dari India selatan, kemungkinan dibawa ke Sulawesi melalui perantara aksara Kawi atau aksara turunan Kawi lainnya.[2][4][5]

Kesamaan rupa aksara-aksara Sumatra Selatan seperti aksara Rejang dengan aksara Lontara membuat beberapa ahli mengusulkan keterkaitan antara kedua sistem tersebut.[6] Teori serupa juga dijabarkan oleh Christopher Miller yang berpendapat bahawa aksara Sumatra Selatan, Sulawesi Selatan, dan Filipina berkembang selari dari pengaruh purwarupa aksara Gujarat, India.[7]

Lontara di Sulawesi Selatan tampaknya pertama kali dikembangkan kawasan Bugis di wilayah Cenrana-Walannae pada sekitar tahun 1400. Penulisan mungkin telah menyebar ke bahagian lain di Sulawesi Selatan dari wilayah ini, tetapi kemungkinan perkembangan bebas tidak dapat ditolak. Yang jelas adalah bahawa catatan bertulis paling awal yang ada bukti adalah salasilah.[8]

Ketika kertas tersedia di Sulawesi Selatan pada awal abad ke-17, tulisan Lontara, yang sebelumnya harus ditulis lurus, bersudut dan kaku pada daun lontar, sekarang dapat ditulis lebih cepat dan lebih bervariasi menggunakan tinta di atas kertas. R.A. Kern (1939: 580-3) menulis bahawa aksara Lontara yang diubah suai yang mempunyai bentuk melengkung yang terdapat di atas kertas nampaknya tidak terdapat dalam tulisan Bugis yang ditulis pada daun lontar yang dipelajarinya. [9]

Melalui usaha ahli bahasa dari Lembaga Penginjilan Belanda, B.F. Matthes, mesin cetak Lontara Bugis, yang dirancang dan dihasilkan di Rotterdam pada pertengahan abad ke-19, telah digunakan sejak itu untuk mencetak di Makassar, Sulawesi Selatan dan Amsterdam. Hasil cetak itu juga digunakan sebagai model untuk mengajar tulisan Lontara Bugis di sekolah, bermula di sekolah-sekolah Makassar dan sekitarnya, kemudian secara bertahap menyebar ke wilayah lain di Sulawesi Selatan. Proses penyeragaman ini jelas mempengaruhi tulisan tangan kemudian. Apabila model standard Lontara Bugis telah muncul, variasi yang ada sebelumnya perlahan-lahan hilang. [10] Dan pada akhir abad ke-19, penggunaan aksara Makassar (atau aksara Jangang-Jangang) telah diganti sepenuhnya oleh aksara Lontara Bugis, yang kadang-kadang disebut oleh para penulis Makassar sebagai "Lontara Baru".

Setidaknya terdapat empat aksara yang terdokumentasi pernah digunakan di wilayah Sulawesi Selatan, secara kronologis aksara-aksara tersebut adalah aksara Lontara, Makassar (atau aksara Jangang-Jangang), Arab, dan Latin. Dalam perkembangannya, keempat aksara ini kerap digunakan bersamaan tergantung dari konteks penulisan sehingga lazim ditemukan suatu naskhah yang menggunakan lebih dari satu tulisan, termasuk naskhah beraksara Lontara yang sering ditemukan bercampur dengan Arab Melayu.[11]

Rujukan

WikiPedia: Tulisan Lontara http://www.depdiknas.go.id/Jurnal/32/dari_huruf_lo... http://groups.google.com/group/aksara-salman http://www.unicode.org/charts/PDF/U1A00.pdf http://www.omniglot.com/writing/lontara.htm http://code.google.com/p/aksara-nusantara/wiki/Lon... http://niariot87.googlepages.com/ https://bennylin.github.io/transliterasi/bugis.htm... http://journals.linguisticsociety.org/proceedings/... https://books.google.co.id/books/about/Malay_Seals... https://blogs.bl.uk/asian-and-african/2015/01/the-...